Lembaga Legislatif Mahasiswa Mau
Dibawa Kemana?
Oleh
1)Trian
Hermawan
Keberhasilan reformasi 1998 telah membawa bangsa Indonesia mengalami perubahan struktur kekuasaan yang sangat fundamental. Kedaulatan yang dahulu berada di tangan MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara, kini berubah secara mendasar menjadi kedaulatan konstitusi dimana semua lembaga negara memiliki susunan dan kedudukan yang setara, dimana antar lembaga dapat melakukan fungsi check and balances sehingga kehidupan ketatanegaraan kita diharapkan dapat lebih baik dari pada zaman sebelum orde reformasi.
Pun demikian kaitannya dengan hubungan
Lembaga Eksekutif dengan Legislatif. Keadaan yang terjadi sebelum era reformasi
adalah kekuasaan eksekutif terlalu ‘superior’ dalam hal kewenangannya membuat
undang – undang. Akan tetapi, pasca amandemen UUD’45 yang merupakan salah satu
buah reformasi ’98 , hal itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan dimana
sekarang kekuasaan legislatif mempunyai porsi yang lebih besar dibandingkan
eksekutif. Artinya supremasi rakyat (yang dalam hal ini adalah DPR) mempunyai
tempat yang lebih menguntungkan dan lebih kuat dibandingkan dimasa lalu. Dan
oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi rakyat yang diwakili oleh DPR
dapat memainkan peran yang lebih baik dan dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat bawah melalui produk – produk yang dihasilkan melalui lembaga
legislatif.
Dalam kehidupan ketatanegaraan kita
mengenal konsep pembagian kekuasaan. Montesque pernah
membagi tiga kekuasaan dalam upaya pengondisian tata negara yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dimana eksekutif adalah sentral yang menjalankan
pemerintahan, legislatif adalah pembuat batasan sekaligus pengawas, dan
yudikatif penjudge terhadap penyimpangan penyelenggaraan negara. Saat ini
negara kita (Indonesia) pun memakai konsepsi tersebut walaupun agak sedikit
berbeda karena adanya MPR disana, konsepsi (Montesque) yang lebih modern
dibandingkan konsepsi monarki seperti Inggris atau Prancis pra-Revolusi atau
pun Soviet dengan Presidiumnya.
Menarik sekali jika mencoba mencermati perkembangan gerakan mahasiswa
sekarang ini. Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, dan
lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang tentu saja memerlukan telaah yang
cukup mendalam. Salah satu di antara yang cukup menarik adalah prawacana atas
student government (pemerintahan mahasiswa/negara mahasiswa). Ia diartikan
sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa,
namun tidak sama dengan negara, di mana konsepnya tidak terlepas dari teori
negara. Kalau boleh di sini disederhanakan maka student government adalah
gerakan mahasiswa yang dilembagakan/diformalkan.
Student government merupakan bentuk
pemerintahan yang mengambil alih kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan
kekuatan negara akan dikuasai oleh mahasiswa, hal ini tak lepas dari
keprihatinan semakin tidak jelasnya arah reformasi. Kemudian yang kedua student
government diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke
dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga student
government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di dalamnya
mempunyai bentuk sama atau mirip dengan negara. Yang terakhir inilah yang
barangkali menjadi entry point student government dalam patron reformasi.
Selain dari segi formil/bentuk lembaga tersebut juga perlu dipikirkan bentuk
materiil/substansi/prinsip dasarnya. Student government mempunyai, paling
sedikit, 5 prinsip dasar yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen,
dan sejajar.
Kampus, tempat dimana bersemainya
beragam nilai dan pemikiran juga mengadopsi konsepsi
Montesque dalam Student Govermance, di Indonesia Trias Politica di kampus
dimulai semenjak turunnya era Orde Baru, sebelumnya pada era Orde Lama yang
dipakai adalah kepemimpinan Presidium dengan Dewan Mahasiswanya, lalu sekitar
tahun 80-an dan 90-an disaat adanya NKK/BKK dimulailah berdirinya Senat
Mahasiswa yang hanya mencakup fakultas, namun pada saat itu senat adalah
lembaga eksekutif, legislatifnya adalah Badan Pengawas Senat, barulah muncul
Badan Eksekutif Mahasiswa yang diprakarsai oleh UGM yang dari awal Senat mereka
berbeda dengan apa yang ditawarkan pemerintah orde baru yaitu Senat
Universitas. Setelah itu BEM tumbuh di berbagai kampus Indonesia. Ketika
eksekutif sudah terbentuk barulah muncul lembaga legislatif kampus yang memang
harus ada sebagai syarat mutlak penggunaan konsepsi Trias Polica seperti DPM,
BPM atau MPM. Hanya yudikatif saja yang tidak ada dalam kampus dan tugasnya pun
dialihkan kepada MPM, terkecuali UI dengan Mahkamah Mahasiswanya sebagai
Lembaga Yudikatif Kampus. Dalam tulisan ini kita hanya akan membahas
satu lahan yang selama ini terkesan tenggelam dengan aktivitas lembaga eksekutif
kampus ( BEM ), yaitu Lembaga Legislatif Mahasiswa. Lembaga Legislatif
Mahasiswa dengan Lembaga Eksekutif Mahasiswa selama ini terkesan berkompetisi
untuk menjadi yang lebih ‘berkuasa’ terhadap sebuah isu, sehingga peran – peran
lembaga legislatif cenderung tidak optimal dan kabur. Kita akan bahas tentang
peran dari lembaga legislatif mahasiswa baik ditataran nasional maupun regional
belum atau tidak menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai lembaga legislatif, mahasiswa
mempunyai 3 peran strategis yang dapat dimainkan yaitu, peran legislasi,
kontrol dan anggaran. Agar dapat melakukan ketiga peran tersebut dengan baik
tidaklah mudah, aktivis mahasiswa haruslah mempunyai sistem yang kuat serta
mesin organisasi yang solid. Selain itu aktivis lembaga legislative mahasiswa
dituntut untuk memiliki kemampuan untuk memahami dan menganalisis setiap peran
yang ia mainkan serta yang tak kalah penting adalah konsistensi dari sebuah
agenda yang kemudian di terjemahkan dalam aksi – aksi di lapangan. Karena
selama ini, kita para aktivis mahasiswa ternyata lebih banyak mengusung agenda
tetapi hal itu tidak dibarengi dengan aksi yang mendorong /menopang goal setting agenda tersebut. Bahasa
kasarnya adalah kita banyak mengagendakan isu – isu, habis itu kita tinggal
pergi dan tenggelam dengan agenda yang baru.
Dari ketiga peran diatas, ada beberapa
hal yang perlu dilakukan aktivis lembaga legislative mahasiswa agar peran
lembaga legislative lebih tepat pada sasaran dan dapat menghasilkan output yang
mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Pertama, agar peran legislasi dapat
berjalan dengan baik ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh aktivis
lembaga legislative mahasiswa. Yaitu : identifikasi masalah atau isu, analisis
opsi kebijakan, penentuan opsi kebijakan dan rencana implementasinya di
lapangan. Legislator kampus sebagai perwakilan
mahasiswa adalah mereka yang nantinya akan merumuskan tertatanya sistem kampus
dan tersampaikannya suara mahasiswa secara integral ke rektorat. Jika dilihat ligislator
tersebut kerjanya hanya rapat dan sidang, karena memang bukan sebagai Lembaga
Eksekutif yang menyusun gerakan dengan proker-proker andalan.. Sedangkan
untuk mendukung peran kontrol atau pengawasan, parameter yang digunakan adalah
: data kinerja pengawasan teknis, SOP Standar Pelaksanaan Oprasional,
konfirmasi dan verifikasi dan tindakan politis serta keobjektifan
data seperti observasi langsung ataupun riset data hitam putih. Peran
ketiga yaitu anggaran dapat dilakukan dengan cara lembaga legislative menjadi
pihak sentral dalam pengalokasian dana kegiatan kemahasiswaan, baik untuk UKM
maupun Eksekutif. Gambaran yang sangat rumit jika hanya
dilihat sekilas saja mengenai lembaga kampus yang paling tertinggi ini.
Keberanian Legislatif Kampus akan sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan
kampus, (seperti amandemen AD/ART sampai merubah sistem ataupun pemakzulan
Presma) karena jika Legislatif kampus tidak terdengar sama saja aspirasi
mahasiswa tidak disuarakan. Inilah ciri khas yang harus dimiliki Legislatif
Kampus. Berani tegas demi perubahan, progresif sebagai penopang, dan pelindung
kesewenangan rektorat.
Perjalanan peran lembaga legislative
secara umum memang sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Ditataran tingkat nasional (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswaa Indonesia) kita
masih dihadapkan pada permasalahan belum menemukan format gerakan bersama, yang
diakibatkan oleh kuatnya kepentingan di masing – masing elite kampus dan belum
mempunyai satu frame pemahaman. Sedangkan di tataran internal kampus kita
sering dihadapkan pada permasalahan sumber daya manusia dalam mengusung isu –
isu internal kampus. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya mereka menyerap
aspirasi dari konstituen mahasiswa yang diwakilinya di tataran bawah. Sehingga
opini yang terbangun selama ini adalah teman – teman eksekutif lebih ‘terkenal’
dibandingkan dengan legislative dengan kerja – kerja teknis mereka di lapangan.
Hal ini menambah posisi tawar lembaga legislative berkurang baik di mata
mahasiswa maupun birokrasi.
Ada sebuah PR bersama yang harus segera
dijawab oleh aktivis mahasiswa yang berada di wilayah legislative, yaitu format
gerakan seperti apa yang akan diambil, karena selama ini hal ini masih menjadi
perdebatan panjang yang tidak tahu akan berakhir kapan. Apakah akan mengambil
bentuk seperti teman – teman eksekutif atau seperti apa. Hal ini penting karena
tidak kita pungkiri bahwa kita sadari atau tidak hari ini kita masih belum
mempunyai sebuah batas yang benar – benar jelas dalam wilayah kerja dan
penyikapan isu antara legislative dan eksekutif. Walaupun secara yuridis kita
sudah mempunyai sebuah batas wilayah yang jelas, tetapi ditataran lapangan
batas ini kabur. Ada beberapa peran vital yang bisa dimainkan oleh mahasiswa
terkait dengan perannya sebagai lembaga legislasi antara lain: menjadi sebuah
kekuatan oposisi yang kritis dan konstruktif ekstra parlementer, ikut andil
dalam pembuatan kebijakan birokrasi ( tidak hanya di kampus tetapi juga negara
) dimana pintu masuknya adalah dari peran oposisi yang kita mainkan. Sebagai
contoh kita bisa melakukan Counter Legal
Drafting terhadap RUU Pendidikan
Tinggi,Agraria, ataupun Kamnas yang merupakan isu bersama ( common issues )
mahasiswa Indonesia dengan mengajukannya ke DPR dan pihak terkait. Ini di
tataran nasional, sedangkan di tataran regional ataupun lokal mahasiswa dapat
terlibat dalam pembuatan atau pengkritisan produk kebijakan DPRD. Artinya agar
kemudian peran lembaga legislatif mahasiswa dapat bangun dari tidur panjangnya
, sudah saatnya aktivis mahasiswa merumuskan kembali format gerakan apa yang
akan di ambil yang merupakan khittah dari perjuangannya. Kemudian yang tak
kalah penting adalah mengambil peran strategis dalam kapasitasnya sebagai
kekuatan oposisi ekstra parlementer baik di birokrasi kampus maupun negara. Lembaga
Legislatif juga harus melakukan penjagaan ritme dan dinamisasi pergerakan mahasiswa,
mengingat ruh dan kekuatan mahasiswa yang begitu dinantikan bangsa hanya akan
terlihat ketika ada dinamisasi dan pergerakan. Dengan demikian harapannya
adalah lembaga legislative benar – benar menjadi sebuah lembaga mahasiswa yang
dapat menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Tanpa itu semua,
tentunya mahasiswa hanya akan berkutat pada wacana tanpa aksi nyata. Dan peran
strategis tersebut harus segera dimainkan oleh setiap lembaga legislatif
mahasiswa yang ada.